-Menajamkan Pisau Dan Memperlakukan Binatang Kurban Dengan Baik
-Menjauhkan Pisaunya Dari Pandangan Binatang Kurban
-Menghadapkan Binatang Kurban Kearah Kiblat ….
Berqurban Menurut Sunnah Nabi
Beberapa
ulama menyatakan bahwa berkurban itu lebih utama daripada sedekah yang
nilainya sepadan. Bahkan lebih utama daripada membeli daging yang
seharga atau bahkan yang lebih mahal dari harga binatang kurban tersebut
kemudian daging tersebut disedekahkan. Sebab, tujuan yang terpenting
dari berkurban itu adalah taqarrub kepada Allah melalui penyembelihan.
(Asy Syarhul Mumti’ 7/521 dan Tuhfatul Maulud hal. 65)
Hukum Berkurban
Para
ulama berbeda pendapat tentang hukum berkurban, ada yang berpendapat
wajib dan ada pula yang berpendapat sunnah mu’akkadah. Namun mereka
sepakat bahwa amalan mulia ini memang disyariatkan. (Hasyiyah Asy
Syarhul Mumti’ 7/519). Sehingga tak sepantasnya bagi seorang muslim yang
mampu untuk meninggalkannya, karena amalan ini banyak mengandung unsur
penghambaan diri kepada Allah, taqarrub, syiar kemuliaan Islam dan
manfaat besar lainnya.
Berkurban Lebih Utama Daripada Sedekah
Beberapa
ulama menyatakan bahwa berkurban itu lebih utama daripada sedekah yang
nilainya sepadan. Bahkan lebih utama daripada membeli daging yang
seharga atau bahkan yang lebih mahal dari harga binatang kurban tersebut
kemudian daging tersebut disedekahkan. Sebab, tujuan yang terpenting
dari berkurban itu adalah taqarrub kepada Allah melalui penyembelihan.
(Asy Syarhul Mumti’ 7/521 dan Tuhfatul Maulud hal. 65)
Perihal Binatang Kurban
a. Harus Dari Binatang Ternak
Binatang ternak tersebut berupa unta, sapi, kambing ataupun domba. Hal ini sebagaimana firman Allah (artinya):
“Dan
bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban),
supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah
dirizkikan Allah kepada mereka.” (Al Hajj: 34)
Jika
seseorang menyembelih binatang selain itu -walaupun harganya lebih
mahal- maka tidak diperbolehkan. (Asy Syarhul Mumti’ 7/ 477 dan Al
Majmu’ 8/222)
b. Harus Mencapai Usia Musinnah dan Jadza’ah
Hal ini didasarkan sabda Nabi :
لاَ تَذْبَحُوْا إِلاَّ مُسِنَّةً إِلاَّ أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوْا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ
“Janganlah
kalian menyembelih kecuali setelah mencapai usia musinnah (usia yang
cukup bagi unta, sapi dan kambing untuk disembelih, pen). Namun apabila
kalian mengalami kesulitan, maka sembelihlah binatang yang telah
mencapai usia jadza’ah (usia yang cukup, pen) dari domba.” (H.R. Muslim)
Oleh
karena tidak ada ketentuan syar’i tentang batasan usia tersebut maka
terjadilah perselisihan di kalangan para ulama. Akan tetapi pendapat
yang paling banyak dipilih dan dikenal di kalangan mereka adalah: unta
berusia 5 tahun, sapi berusia 2 tahun, kambing berusia 1 tahun dan domba
berusia 6 bulan. Pendapat ini dipilih oleh Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullah di dalam Asy Syarhul Mumti’ 7/ 460.
c. Tidak Cacat
Klasifikasi cacat sebagaimana disebutkan Nabi dalam sabdanya:
أَرْبَعٌ
لاَتَجُوْزُ فِيْ اْلأَضَاحِي: اَلْعَوْرَاءُ اَلْبَيِّنُ عَوْرُهاَ
وَاْلمَرِيْضَةُ اَلْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَاْلعَرْجَاءُ اَلْبَيِّنُ
ضِلْعُهَا وَاْلكَسِيْرُ -وَفِي لَفْظٍ- اَلْعَجْفَاءُ اَلَّتِي لاَ
تُنْقِيْ
“Empat
bentuk cacat yang tidak boleh ada pada binatang kurban: buta sebelah
yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas
pincangnya dan kurus yang tidak bersumsum.” (H.R. Abu Dawud dan selainnya dengan sanad shahih)
Lantas, diantara para ulama memberikan kesimpulan sebagai berikut:
o
Kategori cacat (didalam As Sunnah) yang tidak boleh ada pada binatang
kurban adalah empat bentuk tadi. Kemudian dikiaskan kepadanya, cacat
yang semisal atau yang lebih parah dari empat bentuk tersebut.
o Kategori cacat yang hukumnya makruh seperti terbakar atau robek telinga dan patah tanduk yang lebih dari setengah.
o
Adapun cacat yang tidak teriwayatkan tentang larangannya -walaupun
mengurangi kesempurnaan- maka ini masih diperbolehkan. (Asy Syarhul
Mumti’ 7/476-477 dan selainnya)
Walaupun kategori yang ketiga ini diperbolehkan, namun sepantasnya bagi seorang muslim memperhatikan firman Allah (artinya):
“Kalian tidak akan meraih kebaikan sampai kalian menginfakkan apa-apa yang kalian cintai.” (Ali Imran : 92)
d. Jenis Binatang Apa Yang Paling Utama?
Para
ulama berbeda pendapat tentang jenis binatang yang paling utama untuk
dijadikan kurban. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil yang shahih dan
jelas yang menentukan jenis binatang yang paling utama, wallahu a’lam.
Asy Syaikh Muhammad Amin Asy Syanqithi rahimahullah tidak menguatkan
salah satu pendapat para ulama yang beliau sebutkan dalam kitab Adwa’ul
Bayan 5/435, karena nampaknya masing-masing mereka memiliki alasan yang
cukup kuat.
Hanya
saja seseorang yang mau berkurban hendaknya memberikan yang terbaik
dari apa yang dia mampu dan tidak meremehkan perkara ini. Allah
mengingatkan (artinya):
“Wahai
orang-orang yang beriman, berinfaklah dengan sebagian yang baik dari
usaha kalian dan sebagian yang Kami tumbuhkan di bumi ini untuk kalian.
Janganlah kalian memilih yang buruk lalu kalian infakkan padahal kalian
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata.
Ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.” (Al Baqarah: 267)
Jumlah Binatang Kurban
a. Satu Kambing Mewakili Kurban Sekeluarga
Abu
Ayyub Al Anshari Radhiallahu’anhu menuturkan: “Dahulu ada seseorang
dimasa Rasulullah menyembelih seekor kambing untuk dirinya dan
keluarganya.” (H.R. At Tirmidzi dan selainnya dengan sanad shahih)
b. Satu Unta Atau Sapi Mewakili Kurban Tujuh Orang Dan Keluarganya
Hal ini dikemukakan Jabir bin Abdillah: “Kami
dulu bersama Rasulullah pernah menyembelih seekor unta gemuk untuk
tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang pula pada tahun Al
Hudaibiyyah.” (H.R. Muslim)
Waktu Penyembelihan
a. Awal Waktu
Yaitu setelah penyembelihan kurban yang dilakukan oleh imam (penguasa) kaum muslimin ditanah lapang. (H.R. Muslim). Apabila imam tidak melaksanakannya maka setelah ditunaikannya shalat ied. (Muttafaqun ‘alaihi)
b. Akhir waktu
Para
ulama berbeda pendapat tentang akhir penyembelihan kurban. Ada yang
berpendapat dua hari setelah ied, tiga hari setelah ied tersebut, hari
ied itu sendiri (tentunya setelah tengelamnya matahari) dan hari akhir
bulan Dzulhijjah. Perbedaan pendapat ini berlangsung seiring tidak
adanya keterangan shahih dan jelas dari Nabi tentang batas akhir
penyembelihan. Namun tampaknya dua pendapat pertama tadi cukuplah kuat.
Wallahu a’lam.
Sunnah Yang Dilupakan
o
Bagi orang yang hendak berkurban, tidak diperkenankan baginya untuk
mengambil (mencukur) segala rambut/bulu, kuku dan kulit yang terdapat
pada tubuhnya (orang yang berkurban tersebut, pen) setelah memasuki
tanggal 1 Dzulhijjah sampai disembelih binatang kurbannya, sebagaimana
hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh Muslim. Namun bila sebagian
rambut/bulu, kulit dan kuku cukup mengganggu, maka boleh untuk
mengambilnya sebagaimana keterangan Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy
Syarhul Mumti’ 7/ 532.
o
Diantara sunnah yang dilupakan bahkan diasingkan mayoritas kaum
muslimin adalah pelaksanaan kurban di tanah lapang setelah shalat ied
oleh imam (penguasa) kaum muslimin. Wallahul musta’an. Padahal
Rasulullah menunaikan amalan agung ini. Abdullah bin Umar
Radhiallahu’anhu berkata: “Dahulu Rasulullah menyembelih binatang kurban
di Mushalla (tanah lapang untuk shalat ied, pen).” (H.R. Bukhari). Dan
tidaklah Rasulullah melakukan sesuatu kecuali pasti mengandung manfaat
yang besar.
Tata Cara Penyembelihan
a. Menajamkan Pisau Dan Memperlakukan Binatang Kurban Dengan Baik
Rasulullah
bersabda (artinya): “Sesungguhnya Allah mewajibkan perbuatan baik
terhadap segala sesuatu. Apabila kalian membunuh maka bunuhlah dengan
cara yang baik. Dan jika kalian menyembelih maka sembelihlah dengan cara
yang baik pula. Hendaklah salah seorang diantara kalian menajamkan
pisaunya dan menyenangkan (tidak menyiksa) sesembelihannya.” (H.R.
Muslim)
b. Menjauhkan Pisaunya Dari Pandangan Binatang Kurban
Cara
ini seperti yang diceritakan Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu bahwa
Rasulullah pernah melewati seseorang yang meletakkan kakinya didekat
leher seekor kambing, sedangkan dia menajamkan pisaunya. Binatang itu
pun melirik kepadanya. Lalu beliau bersabda (artinya): “Mengapa engkau
tidak menajamkannya sebelum ini (sebelum dibaringkan, pen)?! Apakah
engkau ingin mematikannya sebanyak dua kali?!.” (H.R. Ath Thabrani
dengan sanad shahih)
c. Menghadapkan Binatang Kurban Kearah Kiblat
Sebagaimana hal ini pernah dilakukan Ibnu Umar Radhiallahu’anhu dengan sanad yang shahih.
d. Tata Cara Menyembelih Unta, Sapi, Kambing Atau Domba
Apabila
sesembelihannya berupa unta, maka hendaknya kaki kiri depannya diikat
sehingga dia berdiri dengan tiga kaki. Namun bila tidak mampu maka boleh
dibaringkan dan diikat. Setelah itu antara pangkal leher dengan dada
ditusuk dengan tombak, pisau, pedang atau apa saja yang dapat
mengalirkan darahnya.
Sedangkan
bila sesembelihannya berupa sapi, kambing atau domba maka dibaringkan
pada sisi kirinya, kemudian penyembelih meletakkan kakinya pada bagian
kanan leher binatang tersebut. Seiring dengan itu dia memegang kepalanya
dan membiarkan keempat kakinya bergerak lalu menyembelihnya pada bagian
atas dari leher. (Asy Syarhul Mumti’ 7/478-480 dengan beberapa
tambahan)
e. Berdoa Sebelum Menyembelih
Lafadz doa tersebut adalah:
- بِسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ
“Dengan nama Allah dan Allah itu Maha Besar.” (H.R. Muslim)
- بِسْمِ اللهِ وَاللهُ أَكْبَرُ اَللَّهُمَّ هَذَا مِنْكَ وَلَكَ
“Dengan nama Allah dan Allah itu Maha Besar, Ya Allah ini adalah dari-Mu dan untuk-Mu.” (H.R. Abu Dawud dengan sanad shahih)
Tidak Memberi Upah Sedikitpun Kepada Penyembelih Dari Binatang Sembelihannya
Larangan
ini dipaparkan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu: “Aku pernah
diperintah Rasulullah untuk mengurus kurban-kurban beliau dan membagikan
apa yang kurban itu pakai (pelana dan sejenisnya pen) serta kulitnya.
Dan aku juga diperintah untuk tidak memberi sesuatu apapun dari kurban
tersebut (sebagai upah) kepada penyembelihnya. Kemudian beliau
mengatakan: “Kami yang akan memberinya dari apa yang ada pada kami.”
(Mutafaqun ‘alaihi)
Boleh Memanfaatkan Sesuatu Dari Binatang Kurban
Diperbolehkan
untuk memanfaatkan sesuatu dari binatang tersebut seperti kulit untuk
sepatu, tas, tanduk untuk perhiasan dan lain sebagainya. Hal ini
didasarkan hadits Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu tadi.
Tidak Boleh Menjual Sesuatupun Dari Binatang Kurban
Larangan
ini berlaku untuk seorang yang berkurban, dikarenakan menjual sesuatu
dari kurban tersebut keadaannya seperti mengambil kembali sesuatu yang
telah disedekahkan, yang memang dilarang Rasulullah . Beliau bersabda
(artinya):
“Permisalan seseorang yang mengambil kembali sedekahnya seperti anjing yang muntah kemudian menjilatinya lalu menelannya.” (H.R. Muslim dan Al Bukhari dengan lafadz yang hampir sama)
Disyariatkan Pemilik Kurban Memakan Daging Kurbannya
Diantara dalil yang mendasari perbuatan ini secara mutlak (tanpa ada batasan waktu) adalah firman Allah (yang artinya):
“Maka makanlah daging-daging binatang tersebut dan berilah makan kepada orang fakir.” (Al Hajj : 28)
Demikian juga sabda Nabi (yang artinya):
“Makanlah
kalian, berilah makan (baik sebagai sedekah kepada fakir atau hadiah
kepada orang kaya) dan simpanlah (untuk kalian sendiri).” (H.R. Bukhari)
Adapun
ketentuan jumlah yang dimakan, diinfaqkan maupun yang disimpan maka
tidak ada dalil yang sah tentang hal itu. Wallahu a’lam. Hanya saja,
alangkah mulianya apa yang pernah dikerjakan Rasulullah ketika beliau
hanya mengambil sebagian saja dari kurban sebanyak 100 unta. (H.R.
Muslim)
Mutiara Hadits Shahih
Hadits Abu Qatadah Al Anshari :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ اْلمَاضِيَةَ وَاْلبَاقِيَةَ
“Bahwa
Rasulullah pernah ditanya tentang puasa Arafah (9 Dzulhijjah). Maka
beliau menjawab: “Menghapus dosa setahun yang lalu dan yang akan datang.” (H.R. Muslim)
Dikutip dari http://assalafy.org/al-ilmu.php?tahun3=34 Penulis: Buletin A-Ilmu Jember Judul: Berqurban Menurut Sunnah Nabi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar